Resensi Buku
05.45
Resensi Buku
Kumpulan resensi buku berbahasa Indonesia, baik yang sudah maupun belum dimuat di media massa cetak. Beragam resensi buku ada di sini, sastra, kebudayaan, politik, filsafat, sosiologi dan sebagainya. Semua resensi ditulis oleh pemilik blog ini.
Kamis, 24 April 2014
Memetakan Persoalan Eksploitasi Seksual Remaja
Judul : Perlindungan Anak dan Eksplotasi Seksual
Penulis : Esthi Susanti Hudiono
Penerbit : Yayasan Hotline Surabaya,2014
Tebal: xxv + 520 Halaman
Harga: Rp. 89.000
Terbongkarnya kasus eksploitasi seksual pada remaja dan anak-anak menyisakan banyak pertanyaan. Bukan sekadar siapa yang menjadi “otak” kejadian tersebut, melainkan juga mengapa kasus-kasus seperti itu kian banyak ditemukan.
Buku ini mencoba memberikan jawaban pertanyaan di atas. Mengambil contoh-contoh kasus yang terjadi di Surabaya, pembaca dapat melihat bahwa eksploitasi seksual pada remaja merupakan masalah yang sangat kompleks. Tidak ada penyebab tunggal. Semunya saling terkait.
Jika diamati, ada kesamaan pola dari setiap kasus. Salah satunya adalah latar belakang keluarga yang berantakan karena perceraian orangtua. Hal ini biasanya disusul oleh kondisi ekonomi yang memburuk.
Menghadapi kenyataan itu anak menjadi gamang. Keluarga lain yang menjadi harapan untuk sandaran gagal menyelesaikan persoalan. Akhirnya anak harus menemukan “oase” lain yang dapat memberikan solusi.
Sayangnya “oase” tersebut justru tidak memberikan jalan keluar. Orang yang semula menawarkan bantuan, justru kemudian menjerumuskan remaja ke pusaran eksploitasi seksual. Mereka biasanya adalah kawan dekat, orang yang dikenal di tempat hiburan malam, atau bahkan kekasih korban.
Kisah-kisah tersebut dipaparkan sendiri oleh remaja yang mengalami eksploitasi seksual. Dengan menggunakan teknik sudut penceritaan “orang pertama”, pembaca seperti mendengar sendiri penuturan para korban.
Hal yang tidak kalah menarik adalah kisah mengenai lembaga swadaya masyarakat yang mencoba untuk mengeluarkan korban eksploitasi seksual dari masalah yang tengah dihadapi. Di buku ini terlihat bahwa kompleksnya persoalan membuat proses itu menjadi sangat sulit.
Sekalipun pun korban berhasil dilepaskan dari tangan mucikari, masalah lain biasanya muncul. Mulai dari sulitnya merehabilitasi korban secara psikologis, lingkungan yang tidak mau menerima keberadaan korban, hingga bayi yang dilahirkan korban akibat eksploitasi seksual.
Menurut Hotline Surabaya, lembaga yang menangani korban eksploitasi seksual remaja, modus eksploitasi seksual kian beragam. Sistem yang menyerupai multi level marketing, janji untuk dipekerjakan sebagai karyawan restoran, hingga “penjualan” secara online, adalah ragam modus yang kian banyak dijumpai.
Kisah-kisah di atas menjadi lebih tegas karena buku ini juga melampirkan berita-berita dari harian yang terbit di Surabaya mengenai eksploitasi seksual remaja. Ini memperlihatkan bahwa eksploitasi remaja merupakan agenda yang penting untuk diselesaikan.
Buku ini secara rinci juga menegaskan pentingnya kerja sama antar lembaga untuk memberantas human trafficking. Lembaga swadaya masyarakat, kepolisian, masyarakat, dan lembaga pemerintah seharusnya duduk bersama. Dari sini mereka dapat memetakan persoalan dan menemukan formula yang paling efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, solusi yang didapatkan tidak hanya di hilir, melainkan juga di hulu. ***
Diposkan oleh Nigar Pandrianto di 00.12 3 komentar:
menurutku:
Senin, 17 Maret 2014
Memahami Dunia yang Belum Selesai
dok. komuitasbambu.com
Judul : Berpijak Pada Filsafat (3 Jilid)
Editor: Toety Heraty Noerhadi
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, 2013
Harga: Rp. 200.000,-
Begitu banyak persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Setiap persoalan tampak kompleks, dan tidak mudah untuk mencari ujung pangkalnya. Semua itu saling tarik-menarik, saling terkoneksi, dan tidak ada yang berdiri sendiri.
Perlu kesabaran untuk dapat melihat persoalan secara detil, komprehensif, dan metodologis. Dengan begitu realitas tampak lebih jelas, lebih benar, sehingga lebih mudah untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Rasanya, filsafat adalah salah satu jalan keluar untuk mencapai hal ini. Filsafat memang bukanlah ilmu praktis yang dengannya kita mudah memecahkan persoalan yang ada. Namun filsafat akan membawa kita untuk “lebih tertib” dalam memandang persoalan. Artinya persoalan dilihat secara logis, dengan mempertimbangkan berbagai premis ataupun asumsi-asumsi secara tepat.
Itulah yang ingin disampaikan oleh buku ini. Buku yang merupakan kumpulan sinopsis disertasi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini, adalah sebuah upaya mengajak masyarakat, terutama masyarakat akademis, untuk berpikir secara logis dan kritis. Tanpa daya kritis, realitas yang diamati tidak akan muncul sebagaimana adanya. Sebaliknya, realitas yang muncul adalah palsu, sehingga jika ditawarkan penyelesaian, itu pun palsu.
Lewat buku ini, pembaca diajak untuk lebih tajam melihat segala hal. Penilaian semena-mena tanpa dasar yang kuat hanya menunjukkan kedangkalan berpikir. Sedangkan realitas di sekitar kita—seperti halnya manusia—sesungguhnya merupakan realitas yang belum selesai.
Berpijak Pada Filsafat sebagai sebuah usaha rekam jejak perjalanan Program Doktoral Filsafat FIB Universitas Indonesia, boleh saja diacungi jempol. Sebuah perguruan tinggi sudah selayaknya menerbitkan hasil-hasil riset mereka ke publik. Perguruan tinggi harus memiliki kedekatan dengan masyarakat.
Kelebihan buku ini adalah tema yang sangat bervariasi, mulai dari Bioetika, Epistemologis, Filsafat Politik, Filsafat Antropologi, Filsafat Sosial, Estetika. Hal ini menunjukkan betapa luas sebenarnya cakupan kajian filsafat. Ia menyentuh berbagai ilmu yang berkaitan dengan manusia.
Dalam bidang Bioetika misalnya, filsafat mencoba untuk mengkaji dimensi etis penelitian Human embryonic stem cell. Dalam penelitian ini dilakukan penghancuran terhadap embryo untuk tujuan-tujuan terapi penyakit degeneratif. Pertanyaannya, apakah penghancuran embryo tersebut etis? Bukankah dalam perspektif filsafat embrio tidak memiliki status persona.
Membaca Berpijak Pada Filsafat menyadarkan pembaca bahwa dunia adalah sebuah proses. Karenanya tidak ada yang final dan tidak ada yang mutlak. Semua berubah. Termasuk kita.***
Diposkan oleh Nigar Pandrianto di 21.41 2 komentar:
menurutku:
Jumat, 01 November 2013
Mencari Titik Temu Agama dan Kemiskinan
Judul: Rakyat Kecil, Islam dan Politik
Penulis: Martin van Bruinessen
Penerbit: Gading, Yogyakarta, 2013
Tebal: xvii + 482 Halaman
Kemiskinan di wilayah urban telah lama menjadi masalah, sebab dari sinilah persoalan-persoalan yang lebih luas meluber. Kriminalitas, pengangguran, hingga konflik sosial adalah sebagian dari daftar panjang luberan masalah tersebut.
Martin van Bruinssen, peneliti asal Belanda, secara cermat mencatat masalah tersebut dalam sebuah penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di sebuah kawasan kumuh di kota Bandung pada pertengahan tahun 1980-1990-an.
Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa kemiskinan di wilayah tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lain adalah kedatangan ataupun perpindahan penduduk ke wilayah tersebut.
Perpindahan tersebut diikuti dengan sempitnya lapangan pekerjaan. Alhasil, penduduk terpaksa menjalankan pekerjaan informal seperti membuka warung, berdagang makanan kecil, atau bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas bawang.
Sayangnya usaha semacam itu selalu diikuti oleh penduduk lainnya. Persaingan tidak dapat dihindari. Persaiangan yang tinggi membuat usaha tersebut tidak dapat bertahan lama. Mereka pun kembali bangkrut dan harus bersusah payah membangun usaha lain. Padahal untuk itu mereka harus menyiapkan modal yang banyak.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya kreativitas dan kurangnya kemampuan inovasi membuat kompetisi sulit diatasi dengan baik. Ada penduduk yang mencoba bertahan, ada juga yang menyerah begitu saja. Mereka yang bertahan harus menjalaninya dengan berat.
Namun kemudian Bruinessen mempertanyakan posisi lembaga keagamaan. Dalam hal ini ia menyandingkan posisi lembaga keagamaan dengan fenomena kemiskinan itu sendiri. Baginya, segala dinamikan lembaga keagamaan yang terjadi di Indonesia belum dapat menyentuh persoalan mendasar masyarakat, yakni kemiskinan.
Hal yang terjadi, banyak lembaga keagamaan yang justru terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan politik. Buku ini memperlihatkan bagaimana NU (Nahdlatul Ulama) yang semula merupakan lembaga keagamaan, mengubah dirinya menjadi lembaga politik yang kemudian terbukti banyak memberikan ruang yang menguntungkan bagi anggotanya (Hal. 138).
Namun kemudian ada dorongan internal agar NU untuk menarik diri dari kegiatan politik. Dorongan ini dipicu oleh kenyataan bahwa organisasi tersebut semakin kurang memberikan perhatian kepada dakwah dan pembinaan umat. Hasilnya, pada tahun 1983, NU kembali ke Khittah 1926 (hal. 1943).
Hal menarik lain yang disinggung dalam buku oleh Bruinessen adalah dinamika lembaga maupun kelompok-kelompok Islam yang ada dalam masyarakat. Tampaknya memang tak mudah melepaskan Islam dari hiruk pikuk masalah sosial dan politik. Islam selalu menjadi elemen penting di dalamnya.
Pada analisa Bruinessen, itu alasannya mengapa rezim berkuasa selalu melibatkan lembaga-lembaga Isalam untuk berbaga proyek ataupun programnya. Bagi pemerintah Islam bukan sekadar agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, melainkan juga potensi untuk melakukan sebuah gerakan.
Diposkan oleh Nigar Pandrianto di 11.13 1 komentar:
menurutku:
Rabu, 28 November 2012
--
Judul: Sarongge
Penulis: Tosca Santoso
Penerbit: Dian Rakyat, 2012
Tebal: 370 Halaman
Harga: 95.000
Diposkan oleh Nigar Pandrianto di 22.50 5 komentar:
menurutku:
Selasa, 23 Oktober 2012
Kisah Jurnalis di Balik Berita
Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal: 227 halaman
Harga: Rp. 47.000
Wartawan adalah profesi yang memiliki risiko tinggi. Intimidasi serta ancaman kekerasan adalah hal yang mengintipnya setiap saat. Hanya idealisme dan keterpanggilan yang membuat seorang juru berita bertahan dengan profesi itu.
Menjabarkan semua itu dalam sebuah manuskrip yang teoritis hanya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang kering. Berbeda jika hal itu dideskripsikan ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah yang membuat buku ini menarik disimak sebagai sebuah teks yang menggambarkan mozaik kecil jagat jurnalistik, khususnya di Indonesia. Dari sini pembaca tidak hanya mencerap ikhwal kerja jurnalistik, melainkan juga berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya.
Buku yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan memang bukan barang baru. Seperti dikutip dalam pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis Berkisah dengan buku-buku tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua "kasus", berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Misalnya saja Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang terjadi di Beirut. Petikan kisah mereka saat berada di medan pertempuran akan menjadi hal menarik tersendiri bagi pembaca.
Memakai sudut pandang para wartawan dari berbagai jenis media, buku ini bagaikan sebuah representasi dunia media. Lihat saja, di dalamnya ada penuturan Najwa Shihab yang mewakili televisi berita, Telni Rusmitantri yang bergelut di tabloid hiburan, Tosca Santoso yang malang melintang di jurnalisme radio, Erwin Arnada yang pernah memimpin Palyaboy Indonesia, ataupun Linda Christanty yang membangun sindikasi Aceh News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh jurnalis dalam buku ini, yakni kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan tersebut. Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada persoalan yang lebih besar.
Memang, juru berita adalah manusia biasa. Mereka memiliki ketakutan, mereka sempat gentar, pernah terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah Linda Christanty yang sempat merasa ragu ketika mendapat tawaran untuk untuk tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan konflik bukanlah tempat yang dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu ditepisnya. Kepedulianlah yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar saja, ketika tiba di Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat dilakukan oleh Linda. Memberikan penyadaran melalui berbagai medium adalah hal yang diupayakannnya. Termasuk memberdayakan banyak orang muda untuk berbuat lebih banyak bagi Aceh lewat dunia jurnalistik.
Lewat buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini neralitas dan keberpihakan harus mencari bentuknya kembali.***
0 komentar:
Posting Komentar